Kemacetan di Kota Bandung
KEMACETAN DI KOTA BANDUNG
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kota merupakan pusat dari segala kegiatan seperti pusat industri, pusat pendidikan, pusat perdagangan, pusat hiburan, pusat pemerintahan dan lain sebagainya. Perkembangan kota sebagai satuan wilayah pemukiman dari waktu ke waktu terus meningkat, hal ini disebabkan karena pusat-pusat kegiatan tersebut telah menjadi faktor penarik (Pull Factors) bagi para penduduk desa untuk bermigrasi ke kota.
Kota memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Negara. Pertumbuhan kota dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan penduduk yang dapat menjadi pendukung bagi kehidupan diperkotaan. Pertumbuhan tersebut harus diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat perkotaan. Penyediaan sarana bertujuan agar keharmonisan kehidupan kota tetap terjamin, seperti yang diungkapkan bintaro (1977:40) bahwa “Kegairahan hidup didalam kota tergantung pada adanya sarana dan prasarana di dalam kota dan bagaimana mengatur sarana dan prasarana secara seimbang dan serasi”.
Kota Bandung sebagai ibukota Provinsi Jawa Barat sejak berlakunya PP No. 16 tahun 1987 telah mengalami perubahan-perubahan dalam bidang sosial budaya masyarakatnya. Dinyatakan oleh para ahli bahwa perubahan sosial yang sedang melanda dunia pada saat ini mempunyai penyebab yang multikompleks. Namun dapat dikatakan bahwa penyebab utama dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi diakibatkan oleh kemajuan teknologi . Ilmu pengetahuan menusia telah sedemikian tinggi dan majunya, sehingga manusia telah mampu menciptakan berbagai penemuan-penemuan baru dengan teknik yang sangat modern. Dengan tidak terasa, masuknya teknologi modern kedalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan kondisi kehidupan manusia itu sendiri.
Pertambahan penduduk kota Bandung yang terus menerus dan tergolong tinggi membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan masyarakatnya, yaitu adanya tuntutan akan space yang terus-menerus pula untuk dimanfaatkan sebagai hunian. Sementara ketersediaan ruang terbuka yang masih memungkinkan untuk mengakomodasi penduduk semakin berkurang.
Bertambahnya kegiatan penduduk di kota Bandung yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat, telah mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Konsekuensi keruangannya sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
2. Rumusan Masalah
Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia merupakan wilayah dengan mobilitas tinggi, aktivitas warga yang sangat beragam dan jumlah penduduk yang sangat tinggi. Sarana transportasi yang memadai mutlak dibutuhkan untuk mendukung aktivitas dari masyarakatnya. Semakin tinggi jumlah penduduk maka kegutuhan akan sarana transportasi semakin meningkat. Suatu kota idealnya memiliki jaringan jalan 30 % dari luas wilayahnya, tetapi kota Bandung baru memiliki 4% luas jaringan jalan. Hal tersebut menimbulkan ketidakseimbangan antara kebutuhan transportasi dan keberadaan jaringan jalan sehingga terjadilah kemacetat lalu-lintas.
Berdasarkan identifikasi permasalahan diatas maka pertanyaan penelitian yang akan diambil adalah :
a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kemacetan di Kota Bandung?
b. Bagaimana penyelesaian masalah kemacetan di Kota Bandung?
3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah :
a. Mengidentifikasi faktor apa saja yang menyebabkan kemacetan di kota Bandung.
b. Mengidentifikasi solusi yang mungkin diambil guna penyelesaian masalah
kemacetan di Kota Bandung.
4. Definisi Operasional
Untuk memahami dan menghindari terjadinya kesalahan dalam penafsiran kata-kata, dibawah ini ada beberapa penjelasan mengenai konsep yang digunakan dalam penulisan makalah ini
a. Kemacetan Lalu Lintas
Kemacetan lalu lintas adalah situasi stau keadaan tersendatnyaatau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banykanya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Keadaan dimana volume lalu lintas telah memenuhi kapasitas jalan indicator kemacetan ini terlihat dari gerakan kendaraan yang mengalami hambatan (Warpani, 1993).
BAB II PEMBAHASAN
1. Letak dan Luas
Kota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak di antara 107032’38,91” BT dan 6055’19,94” LS. Luas Kota Bandung adalah 167,29 Km2. Adapun batas administratifnya adalah :
Utara : Kabupaten Bandung Barat
Selatan : Kabupaten Bandung
Barat : Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi
Timur : Kabupaten Bandung
Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, dan perekonomian. Hal tersebut dikarenakan Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan yaitu Barat sampai timur memudahkan hubungan dengan Ibukota Negara dan utara sampai selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan).
Secara administratif Kota Bandung terbagi menjadi 30 kecamatan. Kecamatan Gedebage merupakan kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu 9,58 Km2 atau 5,7% dari luas keseluruhan Kota Bandung. Kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Astana Anyar dengan luas 2,89 Km2 atau hanya 1,73 % dari luas Kota Bandung.
Tabel 1.1 Kecamatan di Kota Bandung
No | Kecamatan | Luas (Km2) | Prosentase (%) |
1 | Bandung Kulon | 6,46 | 3,86 |
2 | Babakan Ciparay | 7,45 | 4,45 |
3 | Bojongloa Kaler | 3,03 | 1,81 |
4 | Bojongloa Kidul | 6,26 | 3,74 |
5 | Astana Anyar | 2,89 | 1,73 |
6 | Regol | 4,30 | 2,57 |
7 | Lengkong | 5,90 | 3,53 |
8 | Bandung Kidul | 6,06 | 3,62 |
9 | Buah Batu | 7,93 | 4,74 |
10 | Rancasari | 7,33 | 4,38 |
11 | Gedebage | 9,58 | 5,73 |
12 | Cibiru | 6,32 | 3,78 |
13 | Panyileukan | 5,10 | 3,05 |
14 | Ujung Berung | 6,40 | 3,83 |
15 | Cinambo | 3,68 | 2,20 |
16 | Arcamanik | 5,87 | 3,51 |
17 | Antapani | 3,79 | 2,27 |
18 | Mandalajati | 6,67 | 3,99 |
19 | Kiaracondong | 6,12 | 3,66 |
20 | Batununggal | 5,03 | 3,01 |
21 | Sumur Bandung | 3,40 | 2,03 |
22 | Andir | 3,71 | 2,22 |
23 | Cicendo | 6,86 | 4,10 |
24 | Bandung Wetan | 3,39 | 2,03 |
25 | Cibeunying Kidul | 5,25 | 3,14 |
26 | Cibeunying Kaler | 4,50 | 2,69 |
27 | Coblong | 7,35 | 4,39 |
28 | Sukajadi | 4,30 | 2,57 |
29 | Sukasari | 6,27 | 3,75 |
30 | Cidadap | 6,11 | 3,65 |
Jumlah | 167,29 | 100 |
Sumber : Kota Bandung Dalam Angka 2010
2. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk kota Bandung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) adalah 2.417.288. Angka tersebut menentukan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,88%. Rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung 13.927,48 jiwa/Km2, dilihat dari segi kepadatan penduduk per Kecamatan, maka Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan daerah terpadat dengan kepadatan penduduk 39.240,26 jiwa/Km2.
Salah satu upaya Pemerintah Kota Bandung untuk mengurangi tingkat kepadatan penduduk adalah dengan Program Transmigrasi ke daerah luar Pulau Jawa, diantaranya ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
Tabel 2.1 Jumlah dan kepadatan penduduk Kota Bandung tahun 2010
No | Kecamatan | Luas (Km2) | Jumlah Penduduk | Kepadatan Per Km2 |
1 | Bandung Kulon | 6,46 | 125.350 | 19.404 |
2 | Babakan Ciparay | 7,45 | 142.309 | 19.102 |
3 | Bojongloa Kaler | 3,03 | 120.894 | 39.899 |
4 | Bojongloa Kidul | 6,26 | 81.045 | 12.946 |
5 | Astanaanyar | 2,89 | 70.544 | 24.410 |
6 | Regol | 4,30 | 86.500 | 20.1160 |
7 | Lengkong | 5,90 | 71.045 | 12.200 |
8 | Bandung Kidul | 6,06 | 51.968 | 8.575 |
9 | Buah Batu | 7,93 | 95.256 | 12.012 |
10 | Rancasari | 7,33 | 68.864 | 9.395 |
11 | Gedebage | 9,58 | 31.230 | 3.260 |
12 | Cibiru | 6,32 | 60.001 | 9.494 |
13 | Panyileukan | 5,10 | 34.621 | 6.788 |
14 | Ujung Berung | 6,40 | 61.579 | 9.626 |
15 | Cinambo | 3,68 | 23.695 | 6.439 |
16 | Arcamanik | 5,87 | 57.869 | 9.858 |
17 | Antapani | 3,79 | 59.929 | 15.812 |
18 | Mandalajati | 6,67 | 57.265 | 8.585 |
19 | Kiaracondong | 6,12 | 129.623 | 21.180 |
20 | Batununggal | 5,03 | 123.392 | 24.531 |
21 | Sumur Bandung | 3,40 | 40.035 | 11.757 |
22 | Andir | 3,71 | 106.201 | 28.626 |
23 | Cicendo | 6,86 | 103.532 | 15.092 |
24 | Bandung Wetan | 3,39 | 31.741 | 9.363 |
25 | Cibeunying Kidul | 5,25 | 111.065 | 21.161 |
26 | Cibeunying Kaler | 4,50 | 69.011 | 15.336 |
27 | Coblong | 7,35 | 126.450 | 17.204 |
28 | Sukajadi | 4,30 | 101.065 | 23.503 |
29 | Sukasari | 6,27 | 77.218 | 12.315 |
30 | Cidadap | 6,11 | 53.934 | 8.827 |
| Jumlah | 167,29 | 2.417.288 | 14.449,69 |
Sumber : Kota Bandung Dalam Angka 2010
Pengelompokan kepadatan penduduk suatu wilayah menurut Bintarto terbagi menjadi:
1 - 50 jiwa/km2 = Tidak padat
51 – 250 jiwa/km2 = Kurang padat
251 – 400 jiwa/km2 = Cukup padat
> 400 jiwa/km2 = Sangat padat
Berdasarkan acuan tersebut Kota Bandung merupakan kota yang memiliki tingkat kepadatan sangat padat karena seluruh wilayahnya memiliki kepadatan lebih dari 400 jiwa/km2. Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi sedangkan yang memiliki kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Gedebage. Tingkat kepadatan tinggi yang dimiliki seluruh kecamatan yang berada di Kota Bandung disebabkan karena semakin banyaknya para pendatang yang mengadu nasib di Kota Bandung. Sebagai Kota besar Bandung memiliki banyak lapangan pekerjaan yang menjanjikan.
Kepadatan penduduk yang tinggi berdampak pada kebutuhan akan pelayanan transportasi. Kota Bandung dengan penduduk yang padat membutuhkan sarana transportasi untuk mobilitasnya. Suatu ruas jalan juga dalam kapasitasnya memperhitungkan ukuran kota dan jumlah penduduk menjadi acuannya. Semakin banyak, semakin padat penduduk pada suatu wilayah semakin tinggi pergerakannya, semakin tinggi pula kebutuhan akan transportasi.
1. Komposisi Penduduk Menurut Umur
Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui angka beban tanggungan. Angka tanggungan ini dijadikan sebagai salah satu indikator keadaan ekonomi suatu daerah. Angka tanggungan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan masyarakat dalam suatu wilayah. Jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan anggotanya tersebut yaitu dari segi pemenuhan kebutuhan dan pendapatan yang harus diperoleh agar semua anggota keluarga mendapatkan kehidupan yang layak.
Tabel 3.1 Komposisi penduduk menurut umur
No | Kelompok umur | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
| 0-4 | 91.301 | 86.134 | 177.435 |
| 5-9 | 108.917 | 99.821 | 208.738 |
3 | 10-14 | 113.222 | 107.046 | 220.268 |
4 | 15-29 | 118.287 | 97.910 | 216.197 |
5 | 20-24 | 121.005 | 119.865 | 240.870 |
6 | 25-29 | 117.977 | 103.37 | 221.347 |
7 | 30-34 | 92.494 | 105.996 | 198.490 |
8 | 35-37 | 102.272 | 98.906 | 201.178 |
9 | 40-44 | 89.162 | 90.034 | 179.196 |
10 | 45-49 | 78.02 4 | 79.181 | 157.205 |
11 | 50-54 | 70.510 | 66.399 | 136.909 |
12 | 55-59 | 40.470 | 39.659 | 80.129 |
13 | 60-64 | 36.331 | 34.738 | 71.069 |
14 | 65-69 | 23.897 | 22.237 | 46.134 |
15 | 70-74 | 13.734 | 17.332 | 31.075 |
16 | >75 | 15.427 | 15.620 | 31.047 |
Jumlah | 1.233.039 | 1.184.248 | 2.417.288 |
Sumber : Kota Bandung Dalam Angka 2010
Dengan demikian hasil perhitungan menunjukan bahwa angka beban tanggungan Kota Bandung adalah 42, artinya setiap 100 jiwa penduduk yang berusia produktif harus menanggung 42 jiwa penduduk yang berusia tidak produktif. Fakta fakta yang ada di daerah penelitian menunjukan bahwa penduduk usia produktif bisa menanggung beban yang di tanggung oleh penduduk usia non produktif.
Penduduk yang berusia produktif umumnya memiliki aktivitas yang lebih sibuk dibanding dengan penduduk usia non produktif. Pada kemacetan lalu lintas penduduk yang memiliki usia produktif lebih banyak terlibat sebagai pengguna jalan. Kegiatan kerja penduduk usia produktif yang dominan membuat mobilitasnya tinggi dan menngunakan jalan lebih banyak dibanding yang berusia non produktif.
1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Menurut UUD No.2 1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Mengingat eratnya hubungan antara tingkat pendidikan+ dengan kemampuan bercocok tanam rambutan, maka para Masyarakatselain harus mengenyam pendidikan formal juga harus diberi penyuluhan-penyuluhan khusus mengenai usahanya agar pendapatannya mengalami peningkatan dan dapat hidup secara layak. Untuk mengetahui komposisi penduduk Kota Bandung berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No | Pendidikan | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
1 | Tidak/belum tamat SD | 79.572 | 95.667 | 175.239 |
2 | SD/MI/sederajat | 212.890 | 242.178 | 455.068 |
3 | SMP/MTs/Sederajat | 168.916 | 185.982 | 354.898 |
4 | SMA/MA/Sederajat | 294.556 | 251.544 | 546.100 |
5 | SMK/Sederajat | 97.022 | 66.231 | 279.201 |
6 | Perguruan Tinggi | 149.372 | 119.751 | 296.123 |
Jumlah | 1.002.328 | 961.353 | 1.963.681 |
Sumber : Kota Bandung Dalam Angka 2010
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui tingkat pendidikan Kota Bandung paling tinggi adalah SMU/MA/sederajat. Tingkat pendidikan Kota Bandung cukup berimbang dilihat dari cukup banyaknya yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Pada grafik tersebut 26% penduduk Kota Bandung adalah SMU atau sederajat. Pendidikan tentunya berada pada lokasi sekolah yang letaknya terpisah dari rumah, sehingga untuk mencapainya diperlukan pergerakan menuju tempat tersebut. Pergerakan menuju tempat pendidikan atau pun meninggalkan lokasi tempat belajar tentu membutuhkan jalan. Oleh karena itu pada jam-jam menjelang masuk dan keluar sekolah biasanya membuat aktivitas jalan tinggi dan macet.
1. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan suatu aktifitas manusia untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Jenis mata pencaharian yang terdapat di suatu daerah banyak dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan fasilitas sosial sebagai pendukung. Mata pencaharian juga dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi dan taraf hidup masyarakat suatu daerah.
Mata pencaharian penduduk dipengaruhi oleh potensi wilayahnya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mata pencaharian berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat, dimana setiap mata pencaharian tingkat pendapatan yang berbeda. Mata pencaharian penduduk Kota Bandung cukup bervariasi, mulai dari sektor agraris, perdagangan, dan sektor jasa. Adapun mata pencaharian penduduk Kota Bandung sebagai berkut pada tabel 5.1
Tabel 5.1 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian
No | Bidang | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
1 | Pertanian | 10.470 | 3.345 | 13.815 |
2 | Industri | 127.036 | 73.590 | 200.626 |
3 | Perdagangan | 211.494 | 133.131 | 344.625 |
4 | Jasa | 160.540 | 92.322 | 252.862 |
5 | Lainya | 150.070 | 38.802 | 188.872 |
Jumlah | 659.610 | 341.190 | 1.000.800 |
Sumber : Kota Bandung Dalam Angka 2010
Berdasarkan tabel tersebut maka diketahui sektor perdagangan merupakan mata pencaharian yang dominan di Kota Bandung. Akan tetapi mata pencaharian penduduk Kota Bandung cukup bervariasi dan cukup berimbang di berbagai bidang. Sektor industri dan jasa juga dominan menunjukan Bandung merupakan kota yang maju.
Grafik komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian
Berdasarkan grafik tersebut diketahui jumlah penduduk yang bergerak dalam bidang perdagangan di Kota Bandung adalah 35%. Sebagai mata pencahrian yang dominan perdagangan di Kota Bandung memang menjanjikan mengingat status Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang selalu ramai. Faktor lainnya juga karena untuk memasuki dunia perdagangan langkahnya mudah dan penghasilan yang menjamin. Sektor jasa juga terhitung besar yaitu 25%, hal tersebut dapat dipahami karena sebagai Kota besar Bandung juga memiliki beragam fasilitas pelayanan jasa yang tentu saja menyerap banyak tenaga kerja. Sektor pertanian merupakn sektor paling sedikit hanya 1% penduduk Kota Bandung. Hal tersebut disebabkan karena lahan pertanian yang semakin berkurang dikarenakan alih fungsi lahan perkotaan.
Dominasi mata pencahrian di Kota Bandung pada sektor jasa dan perdagangan memberikan dampak pada transportasi, yaitu kebutuhan akn transportasi yang meningkat. Kelancaran transportasi sangat penting untuk pergerakan arus barang. Oleh karena itu lokasi kemacetan berkaitan erat dengan pusat kegiatan perdagangan dan jasa. Pada kawasan perdagangan dan jasa mobilitas manusia dan barang sama-sama tinggi.
1. Ruas Jalan
Total ruas jalan di Kota Bandung adalah 1.236,48 Km. Berdasarkan statusnya jalan di Kota Bandung dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan propinsi, dan jalan kota. Pengelompokan status jalan dilakukan oleh pemerintah yang berwenang. Berdasrkan fungsinya jalan di Kota Bandung terbagi menjadi jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer, dan kolektor sekunder. Pengelompokkan fungsi jalan lebih mempertimbangkan kapasitas dan juga kepentingan suatu ruas jalan. Ruas-ruas jalan yang pada arteri primer biasanya lebih besar daripada ruas jalan lainnya. Hal tersebut dikarenakn fungsi jalan arteri primer menghubungkan kawasan-kawasan pusat kegiatan nasional atau pusat kegiatan pusat dengan wilayah. Adapun keberadn ruas jalan di Kota Bandung dijelaskan pada tabel 4.7.
Tabel 6.1 Ruas jalan di Kota Bandung
No. | Ruas Ruas Jalan | Panjang (Km) | Lebar (m) | Status | Fungsi |
1. | Jl. Jend. Sudirman | 6,79 | 13,00-15,00 | Nasional | Arteri Primer |
2. | Jl. Asia Afrika | 1,51 | 13,00-15,00 | Nasional | Arteri Primer |
3. | Jl. Jend. Ahmad Yani | 5,40 | 11,00-14,00 | Nasional | Arteri Primer |
4. | Jl. Raya Ujungberung | 8,04 | 10 | Nasional | Arteri Primer |
5. | Jl. Soekarno Hatta | 18,46 | 10,00 | Nasional | Arteri Primer |
6. | Jl. Dr. Junjunan | 2,00 | 9,00-13,00 | Kota Bandung | Arteri Primer |
7. | Jl. Pasteur | 0,21 | 10,60 | Kota Bandung | Arteri Primer |
8. | Jl. Cikapayang | 0,37 | 9,70 | Kota Bandung | Arteri Primer |
9. | Jl. Surapan | 1,16 | 12,62 | Kota Bandung | Arteri Primer |
10. | Jl. PHH Mustofa | 3,34 | 9,00 | Kota Bandung | Arteri Primer |
11. | Jl. Kiaracondong | 4,12 | 12 | Propinsi | Arteri sekunder |
12. | Jl. Ters. Kiaracondong | 0,99 | 8 | Propinsi | Arteri sekunder |
13. | Jl. Jamika | 0,91 | 4,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
14. | Jl. Peta | 2,60 | 10,20 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
15. | Jl. BKR | 2,30 | 10,20 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
16. | Jl. Pelajar Pejuang 45 | 1,48 | 20,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
17. | Jl. Laswi | 1,10 | 20,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
18. | Jl. Sukabumi | 0,64 | 9,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
19. | Jl. Sentot Alibasa | 0,20 | 16,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
20. | Jl. Diponegoro | 0,66 | 12,62 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
21. | Jl. W.R. Supratman | 1,86 | 7, 94 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
22. | Jl. Jakarta | 1,15 | 14,00-15,50 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
23. | Jl. Ters. Jakarta | 2,76 | 14,00-15,50 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
24. | Jl. Ters. Pasirkoja | 2,68 | 8,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
25. | Jl. Pasirkoja | 0,46 | 8,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
26. | Jl. Abdul Muis | 1,68 | 6,00 | Kota Bandung | Arteri sekunder |
27. | Jl. Setiabudhi | 6,03 | 9,00-11,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
28. | Jl. Sukajadi | 2,57 | 9,00-11,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
29. | Jl.HOS.Cjokroaminoto (Pasirkaliki) | 2,18 | 13,50 | Propinsi | Kolektor Primer |
30. | Jl. Gardujati | 0,41 | 14,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
31. | Jl. Astana Anyar | 0,76 | 8,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
32. | Jl. Pasir Koja | 0,13 | 8,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
33. | Jl. K.H. Wahid Hasyim (Kopo) | 2,96 | 13,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
34. | Jl. Moch. Toha | 3,47 | 12,00-15,00 | Kota Bandung | Kolektor Primer |
35. | Jl. Trs. Buah Batu | 1,06 | 10,00-13,00 | Propinsi | Kolektor Primer |
36. | Jl. Ters. Kiaracondong | 1,16 |
| Propinsi | Kolektor Primer |
37. | Jl. Moch. Ramdan | 0,94 | 10,50 | Kota Bandung | Kolektor Primer |
38. | Jl. Ters. Pasir Koja | 2,72 | 8,00 | Kota Bandung | Kolektor Primer |
39. | Jl. Rumah Sakit | 2,83 | 5,00 | Kota Bandung | Kolektor Primer |
40. | Jl. Gedebage Selatan | 3,08 | 6,00 | Kota Bandung | Kolektor Primer |
41. | Jl. Ir. H Juanda | 5,64 | 15,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
42. | Jl. Dipatiukur | 1,83 | 8,88 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
43. | Jl. Merdeka | 1,04 | 12,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
44. | Jl. Cimbuleuit | 1,44 | 6,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
45. | Jl. Setiabudhi | 1,48 | 9,00-11,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
46. | Jl. Cihampelas | 0,14 | 7,0 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
47. | Jl. Siliwangi | 1,06 | 12,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
48. | Jl. Gegerkalong Hilir | 2,10 | 6,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
49. | Jl. Tubagus Ismail | 1,27 | 5,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
50. | Jl. Sedang Serang | 0,71 | 6,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
51. | Jl. Cikutra Barat | 0,88 | 6,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
52. | Jl. Cikutra Timur | 2,37 | 8,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
53. | Jl. Antapani Lama | 1,26 | 5,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
54. | Jl. Pacuan Kuda | 2,44 | 3,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
55. | Jl. Ciwastra | 5,80 | 6,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
56. | Jl. Rajawali Barat | 1,02 | 10,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
57. | Jl. Rajawali Timur | 1,54 | 13,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
58. | Jl. Kebonjati | 1,40 | 12,17 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
59. | Jl. Suniaraja | 0,24 | 11,00-14,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
60. | Jl. Lembong | 0,45 | 9,50 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
61. | Jl. Veteran | 0,83 | 12,00 | Kota Bandung | Kolektor sekunder |
Sumber : Dinas Perhubungan dan Bina Marga, 2009
Kota Bandung memiliki 61 ruas jalan utama berdasarkan status dan fungsinya. Berdasarkan tabel 4.7 jalan Soekarno Hatta merupakan jalan terpanjang di Kota Bandung yaitu 18,46 Km. Jalan Soekarno Hatta juga berstatus sebagai jalan nasional dan berfungsi sebagai jalan arteri primer. Hal tersebut menunjukkan jalan Soekarno Hatta adalah salah satu ruas jalan terpenting di Kota Bandung. Sedangkan jalan yang memiliki panjang paling rendah adalah jalan Sentot Alibasa dengan panjang jalan hanya 0,20 Km. Jalan Sentot Alibasa berstatus sebagai jalan kota dan memiliki fungsi sebagai jalan arteri sekunder. Meski memiliki panjang terrendah tetapi jalan Sentot Alibasa memiliki jalan yang lebar yaitu 16 mater.
BAB III PENUTUP
1. Simpulan
Sebagai salah satu dampak dari adanya perubahan sosial budaya masyarakat kota kemacetan merupakan suatu hal yang jamak terjadi di kota-kota besar dunia, tak terkecuali Bandung. Secara sederhana, kemacetan terjadi lantaran panjang jalan serta lebar jalan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan. Logikanya, cara paling gampang mengatasi kemacetan adalah dengan menambah panjang jalan dan lebar jalan. Namun, menambah panjang jalan dan lebar di Kota Bandung sekarang ini semakin sulit dilakukan. Yang paling mungkin adalah membuat jalan baru. Atau membangun moda transportasi lain, misalnya kereta api. Menurut Stephen Ison, pakar transportasi asal Universitas Loughborough, Inggris, pembangunan jalan baru, seperti jalan tol dalam kota, sesungguhnya bukan solusi tepat untuk mengatasi kemacetan. Pembangunan jalan baru justru membawa dampak negatif dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Bandung merupakan suatu kota dengan desain awal hanya untuk sekitar 500rb jiwa, dengan perkembangannya, saat ini penduduk Bandung mencapai 2,417.2 juta jiwa, dengan luas wilayah 167,3 km² . Dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, diperlukan transportasi yang memadai. Saat ini transportasi di Bandung, yaitu angkot,bus damri, bus TMB, becak, dan ojek. Angkot merupakan sarana transportasi yang dominan. Angkutan umum di kota Bandung pada dasarnya belum bisa memberikan kenyamanan berkendara secara maksimal, terkadang jika kita memakai angkot, maka angkot tersebut “ngetem”, sehingga menimbulkan waktu perjalanan relative lama. Oleh karena itu, banyak warga Bandung akhirnya memakai kendaraan pribadi, seperti motor atau mobil sebagai sarana transportasinya. Kecenderungan seperti ini menimbulkan konsekuensi yang kurang baik, populasi kendaraan meningkat tajam, hal ini tidak dibarengi oleh pembangunan jalan, sehingga kemacetan tak terhindarkan. Kemacetan ini diperparah oleh pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di badan jalan, angkot ngetem, dan lain sebagainya. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya solutif yang menguntungkan semua pihak, agar persoalan kemacetan ini dapat terurai. Untuk mengurai permasalahan kemacetan di Bandung, maka kita lihat diagram di bawah ini.
Kemacetan di kota Bandung khususnya, tejadi pada saat jam-jam sibuk. Sekitar pukul 07.00-08.00 pada pagi hari, dan 16.00-18.00 pada sore hari. Pada jam-jam itu volume kendaraan meluap akibat keluar secara bersamaan, hal ini tidak ditunjang oleh infrastruktur jalan yang memadai, juga diperparah oleh sikap serta perilaku masyarakat, seperti telah dicontohkan diatas. Mengapa kemacetan dipermasalahkan, ada beberapa faktor yang berpengaruh, yaitu;
- Dampak terhadap lalulintas lokal
- Pertumbuhan ekonomi
- Kualitas hidup
- Keamanan di jalan raya
- Polusi lingkungan
- Boros bahan bakar dan lain sebagainya
Secara garis besar kemacetan yang terjadi di Kota Bandung diakibatkan oleh hal-hal berikut ini :
a. Peningkatan jumlah penduduk
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada bertambahnya jumlah aktivitas penduduk dalam kota sehingga kebutuhan akan sarana transportasi pun meningkat dan mobilitas penduduk Kota Bandung semakin sibuk. jumlah penduduk Kota Bandung terus meningkat sedangkan tingkat pelayanan fasilitas pelayanan public tidak bertambah signifikan. Aktivitas penduduk yang semakin padat membutuhkan transportasi untuk menunjang pergerakannya akan tetapi kebutuhan sarana transportasi itu tidak ditunjang dengan ketersediaan jalan yang layak sehingga saat aktivitas penduduk memumncak jalan-jalan akan dipenuhi kendaraan dan kemacetan pun terjadi.
b. Peningkatan volume kendaraan
Peningkatan volume kendaraan menyebabkan ruas jalan semakin padat oleh kendaraan, volume yang tak terkendali akan menyebabkan antrian panjang kendaraan dalam ruas jalan. Apabila hal ini terjadi maka tingkat pelayanan jalan menjadi rendah, artinya kendaraan dalam ruas jalan itu dipaksakan karena volumenya sudah tidak sesuai dengan kemampuan pelayanan jalan tersebut. Hal ini merupakan kondisi macet dimana puncak-puncak volume kendaraan biasanya terjadi pada jam-jam puncak kegiatan seperti pada sore hari pukul 16.00-18.00 WIB, waktu orang-orang selesai bekerja, kembali kerumah dan mengunjungi tempat-tempat hiburan atau pusat kota.
c. Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kakai lima yang ada di Kota Bandung keberadaanya semakin meningkat tiap tahun. PKL banyak beroperasi di pinggir ruas-ruas jalan yang ada di kota dan juga trotoar. Keberadaan PKL ini menyebabkan hambatan samping pada ruas-ruas jalan semakin tinggi dan hal tersebut mengurangi kapasitas jalan. Banyaknya PKL di trotoar dan pinggir jalan mengundang orang untuk melakukan transaksi jual beli sesuai dengan dengan PKL, apabila jumlahnya semakin banyak maka fungsi dari trotoar tersebut sudah beralih fungsi menjadi lahan PKL, bukan lagi sebagai tempat yang nyaman untuk berjalan kaki. Kendaraan yang melewati ruas jalan yang ada PKL nya pun akan terhambat dengan kegiatan PKL.
d. Kurangnya ruas lahan parkir
Kurangnya lahan parkir menyebabkan banyaknya parkir pada badan jalan.Keberadaan parkir pada badan jalan sangat berpengaruh terhadap kemacetan lalu lintas dikarenakan mengurangi tingkat pelayanan yang dimiliki suatu ruas jalan. Apabila banyak kendaran yang parkir pada badan jalan maka semakin berkurang jumlah kendaraan yang dapat melintasi ruas jalan tersebut. Pada kondisi puncak aktivitas, jumlah kendaraan yang melintas tak dapat ditahan, apabila badan jalan terpakai parkir maka ruas-rusa jalan yang dipenuhi parkir badan jalan jelas akan mengalami kemacetan.
Parkir di badan jalan yang ada di Kota Bandung merupakan pemandangan yang selalu ada hampir di setiap ruas jalan. Sebagai perkotaan Bandung memiliki banyak kawasan yang didominasi oleh bidang perdagangan dan jasa. Kawasan tersebut terutama kawasan perdagangan yang umumnya berad dipinggir jalan banyak yang tidak menyediakan ruang parkir yang memadai sehingga badan jalan pun dijadikan ruang parkir. Selain itu parkir pada badan jaln juga banyak disebabkan oleh kendaraan pengangkut barang yang mensuply distribusi barang suatu perdagangan.
Tingginya aktivitas parkir pada badan jalan dapat terlihat di sekitar jalan Cihampelas, Jalan K.H. Wahid Hasyim (Kopo), Jaln Astana Anyar, Jalan Pasir Koja dan Jalan Gegerkalong Hilir. Pada ruas-ruas jalan tersebut parkir sangat mengganggu arus lalu lintas karena membuat lebar efektif jalan berkurang juga. Jika lebar efektif berkurang maka berkurang pula volume kendaraan yang dapat ditampung oleh ruas jalan tersebut.
e. Perilaku pengendara
Rendahnya kedisiplinan para pengendara bermotor terutama pengendara kendaraan roda dua dalam mentaati peraturan lalu lintas, menjadi salah satu penyebab terjadinya kemacetan di kota Bandung. Sebagai contoh jika terjadi kemacetan para pengendara roda dua cenderung untuk menyalip kendaraan lain dengan mengambil jalan jalur jalan untuk arah yang berlawanan. Akibatnya terjadilah kemacetan total dimana pengendara yang berlawanan arah tidak bisa melaju karena jalur yang akan mereka lewati terhalang oleh kendaraan yang menyalip tadi.
1. Saran
Ada beberapa alternative pemecahan masalah terhadap permasalahan kemacetan ini, yaitu,
a. Pengendalian dan pengelolaan supply
Pengendalian dan pengelolaan supply disini berarti mengelola kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun umum. Pada kendaraan umum, misalnya angkot, perlunya pembatasan jumlah angkot yang beroperasi disesuaikan dengan jumlah penumpangnya. Jangan sampai, angkot yang banyak tetapi disisi demand(penumpang) sedikit, karena penumpang reltif lebih sedikit dibanding jumlah kendaraan, maka banyak angkot yang ngetem, menyebabkan kemacetan. Lalu perlunya penggantian moda transportasi angkot dengan moda angkutan berbadan lebar seperti bus. Dengan menggunakan bus, maka otomatis jumlah penumpang yang diangkut lebih banyak, sehingga populasi kendaraan umum di jalanan relative lebih sedikit. Tetapi terdapat konsekuensi besar jikalau kebijakan penggantian moda angkutan ini terjadi.
b. Pengendalian dan pengelolaan demand
Pengendalian demand disini berarti pengendalian penumpang angkutan. Salah satu caranya ialah dengan memberikan insentif bagi orang yang menggunakan angkutan umum disbanding menggunakan kendaraan pribadi.
c. Pengelolaan penggunaan lahan
Di Bandung, belum tersedianya sarana pemberhentian bagi angkutan umum menjadi masalah tersendiri. Dengan tiadanya fasilitas ini, maka angkutan umum akan berhenti di tempat yang tidak seharusnya berhenti. Hal ini akan menyebabkan kemacetan. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah kota untuk menyediankan fasilitas pemberhentian angkutan umum.
d. Pengelolaan kelembagaan
Diperlukan upaya pembinaan kelembagaan baik dari kelembagaan angkutan umum, atau dari pemerintah. Kelembagaan, misalnya pada angkutan kota, disini bisa berfungsi melakukan pembinaan, serta pemberian sanksi internal jika melanggar peraturan. Dari segi kelembagaan pemerintah, lembaga harus mampu mneyediakan infrastruktur jalan yang memadai, seperti pelebaran jalan, pelebaran persimpangan, Permasalahan perparkiran di tepi jalan, serta pengaturan fungsi dan tata bangunan.
e. Pengawasan secara terus-menerus
Pengawasan dilakukan setelah upaya-upaya seperti dicontohkan diatas telah dilakukan. Dengan dilakukan pengawasan ini, maka upaya yang telah dilakukan tidak akan sia-sia.
Alaternatif diatas bersifat holistik, menyeluruh. Pemilihan alternative penyelesaian masalah tentunya harus dilihat secara seksama, dan harus memberikan solusi yang menguntungkan semua pihak.
Berikut merupakan saran teknis pemecahan masalah kemacetan kota Bandung;
- Dalam konteks Kota Bandung, mengaktifkan kembali sejumlah jalur kereta api bisa menjadi salah satu pilihan terbaik dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas. Dengan mengaktifkan kembali jalur kereta api Yang menghubungkan Bandung-Ciwidey dan Bandung-Tanjungsari, setidaknya dapat mereduksi kemacetan Yang saban hari terjadi di rute Cicaheum-Cibiru-Jatinangor dan rute Kopo-Soreang-Ciwidey.
- Desentralisasi layak pula menjadi bahan pertimbangan. kemacetan kerap terjadi lantaran adanya beragam aktivitas, mulai dari perdagangan, bisnis, pendidikan, pemerintahan, rekreasi, hingga hiburan Yang terpusat pada kawasan tertentu. Perlu diupayakan agar beragam aktivitas ini tidak melulu hanya terpusat pada satu kawasan tertentu.
- Penerapan pola kerja jarak jauh (tele work) dapat pula menjadi pilihan. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, karyawan kantor/perusahaan bisa saja bekerja dari rumah masing-masing. Di banyak kota di negara maju, pola ini menjadi bagian Yang menyatu dengan kebijakan pemerintah kota dalam upaya mengurangi kemacetan dan pencemaran udara.
- Melakukan pembatasan mengenai umur kendaraan yang boleh lewat jalan-jalan kota Bandung.
Tentunya untuk mewujudkan hal-hal diatas perlu dukungan dan kerja keras semua pihak.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Bintaro (1977). Pengantar Geografi Kota. UP Spring: Yogyakarta
Warpani, S. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Agkutan Jalan. Institut Teknologi Bandung: Bandung .
Yanti. 2011. Analisis Kemacetan Lalu Lintas di Kota Bandung Dengan Menggunakan Citra
Quickbird dan Sistem Informasi Geografis. Skripsi Jurusan Pendidian Geografi FPIPS UPI: Bandung.
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Bandung, April 2011
oleh : CIndya Hendriyana